Minggu, 02 Juni 2013

TEORI KEPERIBADIAN HANS J. EYSENCK: TIPOLOGI BIOLOGIS



Eysenck dalam teorinya menggunakan pendekatan Behaviorisme dalam melihat keperiadian manusia. Teori Eysenck sebagian besar didasarkan pada fisiologi dan genetika. Meskipun dia seorang behavioris, namun Eysenck melihat perbedaan kepribadian lebih disebabkan oleh faktor keturunan atau genetika.
Eysenck berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun dia juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan. Menurutnya kepribadian adalah keseluruhan pola tingkahlaku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkahlaku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkahlaku; sektor kognitif (intelligence), sektor konatif (character), sektor afektif (temperament), sektor somatik (constitution) (Alwisol, 2010).

A.    TEORI FAKTOR EYSENCK
          Teori keperibadian dari Hans J. Eysenck mempunyai komponen biologis dan psikometri yang kuat. Akan tetapi, Eysenck berargumen bahwa kecanggihan psikometri saja tidak cukup untuk mengukur struktur kepribadian manusia dan dimensi kepribadian yang didapatkan dari metode analisis factor yang bersifat steril dan tidak bermakna, kecuali jika sudah terbukti mempunyai suatu eksistensi biologis (Feist & Feist, 2010).
a.     Kriteria dalam Mengidentifikasi Faktor
Eysenck membuat daftar empat criteria dalam mengidentifikasi suatu factor, yaitu:
·         Bukti psikometrik, bahwa factor harus reliabel dan dapat direplikasi. Peneliti juga haris dapat menemukan factor tersebut, dan secara konsisten mengidentifikasi ekstraversi, neurotisme, dan psikotik yang ditemukan oleh Eysenck.
·         Keterwarisan (heritability). Kriteria ini mengeliminasi karakteristik yang dipelajari, serta kemampuan untuk mengimitasi suara-suara dari orang-orang terkenal atau keyakinan agama ataupun politik.
·         Masuk akal saat dipandang dari segi teoritis. Eysenck menggunakan metode deduktif dalam melakukan investigasi, dimulai dengan satu teori, kemudian mengumpulkan data yang konsisten secara logis dengan teori tersebut.
·         Mempunyai relevansi sosial, yaitu harus ditunjukkan bahwa factor yang didapatkan secara matematis harus mempunyai hubungan dengan variabel sosial yang relevan, seperti kecanduan obat-obatan, kerentanan akan cedera yang tidak disengaja, performa cemerlang dalam olahraga, perilaku psikotik, kriminalitas, dan lain-lain (Feist & Feist, 2010).
b.     Hierarki Organisasi Prilaku
Eysenck mengenali suatu hierarki empat level dalam pengorganisasian perilaku, yaitu:
·         Kognisi atau tindakan spesifik, perilaku atau pikiran individual yang mungkin ataupun tidak merupakan karakteristik dari seseorang.
·         Tindakan atau kognisi yang umum, yaitu respon yang terjadi secara berulang dalam kondisi yang serupa.
·         Sifat, yaitu disposisi kepribadian yang penting dan semipermanen.
·         Tipe atau superfaktor, terdiri dari beberapa sifat yang saling berkaitan. (Feist & Feist, 2010)

B.     HIRARKI FAKTOR-FAKTOR KEPRIBADIAN
Keperibadian sebagai organisasi tingkah laku oleh Eysenck dipandang memiliki empat tingkat hirarkis, berturut-turut dari hirarki yang tinggi ke hirarki yang rendah: tipe – trait – habit – respon spesifik.
·         Tipe: kumpulan dari trait, yang mewadahi kombinasi trai dalam suatu dimensi yang luas.
·         Trait: kumpulan kecenderungan kegiatan, koleksi respon yang saling berkaitan atau mempunyai persamaan tertentu.
·         Habit: kumpulan respon spesifik/fikiran yang muncul kembali untuk merespon kejadian yang mirip.
·         Respon Spesifik: tingkahlaku yang secara actual dapat diamati, yang berfungsi sebagai respon terhadap suatu kejadian. (Alwisol, 2010)

C.    DIMENSI KEPERIBADIAN
Eysenck hanya mengekstrak tiga superfaktor umum. Ketiga dimensi keperibadian Eysenck adalah ekstraversi (E), neurotisme (N), dan psikotik (P).

Dimensi Keperibadian
Struktur Hierarki




Psikotik
§  Agresif
§  Dingin
§  Egosentris
§  Tidak Ramah
§  Impulsif
§  Antisosial
§  Tidak Empati
§  Kreatif
§  Keras Kepala




Ekstraversi
§  Ramah
§  Dinamis
§  Aktif
§  Tegas
§  Mencari Sensasi
§  Riang
§  Dominan
§  Memberontak
§  Berani





Neurotisme

§  Cemas
§  Tertekan
§  Perasaan Bersalah
§  Harga Diri yang Rendah
§  Tegang
§  Tidak Rasional
§  Pemalu
§  Murung
§  Emosianal

            Eysenck menilai ketiga factor ini sebagai bagian dari struktur keperibadian normal. Ketiganya bersifat biporal dengan ekstraversi berada dalam salah satu kutub dari factor E dan introversi menempati kutub sebaliknya. Serupa dengan hal tersebut, factor N meliputi neurotisme pada satu kutub dan stabilitas pada kutub yang lainnya, dan factor P mempunyai psikotik dalam satu kutub dan fungsi superego dalam kutub lainnya.
            Sifat bipolar dari factor yang ditemukan oleh Eysenck tidak mengimplikasikan bahwa kebanyakan orang berada dalam satu kutub atau yang lainnya dalam ketiga kutub utama. Setiap factor mempunyai distribusi yang bersifat unimodal dari pada bimodal. Eysenck berargumen bahwa setiap factor memenuhi empat kriteria yang ia berikan untuk mengidentifikasi dimensi kepribadian, yaitu:
1.      Bukti psikometrik yang kuat harus ada dalam setiap factor, terutama factor E dan N. Ekstraversi dan neurotisme (atau kecemasan) adalah factor dasar dalam hamper semua kajian analisis factor dari keperibadian manusia, termasuk beragam versi dari teori lima factor (John & Srivastava dalam Feist & Feist, 2010).
2.      Eysenck berargumen bahwa dasar biologis yang kuat terdapat dalam masing-masing superfaktor tersebut (John, dkk dalam Feist & Feist, 2010).
3.      Tiga dimensi keperibadian Eysenck masuk akal secara teoritis.
4.      Eysenck berulang kali memperlihatkan bahwa ketiga factor berkaitan dengan isu sosial, seperti penggunaan obat-obatan terlarang, perilaku seksual, kriminalitas, mencegah kanker dan penyakit jantung, serta kreativitas (Eysenck dalam Feist & Feist, 2010).

a.     Ekstraversi 
Konsep yang dimiliki Eyenck mengenai ekstraversi dan introversi lebih dekat dengan penggunaan populer dari kedua istilah ini. Orang-orang ekstroversi mempunyai karakteristik utama, yaitu kemampuan bersosialisasi dan sifat impulsive, senang bercanda, penuh gairah, cepat dalam berpikir, optimis, serta sifat-sifat lain yang mengindikasikan orang-orang yang menghargai hubungan mereka dengan orang lain (Eysenck & Eysenck dalam Feist &Feist, 2010).
Orang-orang introver mempunyai karakteristik sifat-sifat yang berkebalikan dari mereka yang ekstrover. Mereka dapat dideskripsikan sebagai pendiam, pasif, tidak terlalu bersosialisasi, hati-hati, tertutup, penuh perhatian, pesimistis, damai, tenang, dan terkontrol. Akan tetapi menurut Eysenck, perbedaan paling mendasar antara ekstraversi dan introversi bukan terletak pada perilaku, melainkan pada sifat dasar biologis dan genetiknya.
Eysenck yakin bahwa penyebab utama perbedaan antara orang ekstrover dan introvert adalah tingkat rangsangan kortikal yaitu suatu kondisi fisiologis yang sebagian besar diwariskan secara genetik daripada dipelajari (Feist & Feist, 2010).

b.     Neurotisme
Superfaktor yang kedua yang diekstrak oleh Eysenck adalah neurotisme/stabilitas (N). Seperti ekstraversi/introversi, factor N mempunyai komponen hereditas yang kuat. Eysenck (dalam Feist & Feist, 2010) menyatakan bahwa beberapa penelitian telah menemukan bukti dari dasar genetic untuk sifat neurotic, seperti kecemasan, hysteria, dan gangguan obsesif-kompulsif. Selain itu, ia fraternal dalam jumlah perilaku antisocial dan asocial, seperti kriminalitas di usia dewasa, gangguan prilaku dimasa kanak-kanak, homoseksualitas, dan alkoholik.
            Orang-orang yang mempunyai skor tinggi dalam neurotisme mempunyai kecendrungan untuk bereaksi berlebihan secara emosional, dan mempunyai kesulitan untuk kembali ke kondisi normal setelah terstimuli secara emosional. Mereka sering mengeluhkan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala dan sakit punggung, serta mempunyai masalah psikologis yang kabur, seperti kekhawatiran dan kecemasan. (Feist & Feist, 2010).


c.      Psikotik
Seperti ekstraversi dan neurotisme, P adalah factor yang bersifat biporal, dengan psikotik dalam satu kutub dan superego dalam kutub yang lainnya. Orang yang skor P tinggi biasanya egosentris, dingin, tidak mudah menyesuaikan diri, impulsive, kejam, agresif, curiga, psikopatik, dan antisocial. Orang yang skor P rendah (mengarah pada fungsi superego) cenderung bersifat altruis, mudah bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri, dan konvensional (S.Eysenck dalan Feist & Feist, 2010).
Eysenck memiliki hipotesis bahwa orang-orang yang memiliki skor psikotik yang tinggi mempunyai predisposisi untuk menyerah pada stress dan mempunyai penyakit psikotik yang tinggi. Model diatesis-stres ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang mempunyai skor P yang tinggi, secara genetis lebih rentan terhadap stress dari pada yang mempunyai skor P yang rendah. Pada periode stres yang rendah, orang dengan skor P tinggi masih dapat berfungsi dengan normal, tetapi pada saat tingkat psikotik yang tinggi berinteraksi dengan kadar stress yang juga tinggi, orang tersebut menjadi lebih rentan terhadap gangguan psikotik. Sebaliknya, orang dengan skor P rendah tidak selalu rentan pada psikosis yang berhubungan dengan stress, dan mungkin tidak akan mengalami kehancuran secara psikotik pada periode stress yang ekstrem. Menurut Eysenck (dalam Feist & Feist, 2010), semakin tinggi skor psikotik, semakin rendah kadar stress yang dibutuhkan untuk menimbulkan reaksi psikotik.

D.  MENGUKUR KEPERIBADIAN
Eysenck mengembangkan empat inventor keperibadian yang mengukur superfaktor yang digagasnya.
·         Maudsley Personality Inventory atau MPI yang hanya mengkaji E dan N, serta menghasilkan bebrapa korelasi dari kedua factor tersebut.
·         Eysenck Personality Inventory atau EPI. EPI memiliki skala kebohongan untuk mendeteksi kepura-puraan, tetapi yang terpenting tes tersebut mengukur ekstraversi dan neurotisme secara independen, dengan korelasi yang hamper nol antara E dan N.
·         Eysenck Personality Questionnaire (EPQ) yang memasukkan skala psikotik (P).
·         Eysenck Personality Questionnaire-Revised (H.J.Eysenck & S.B.G. Eysenck dalam Feist & Feist, 2010).

E.   DASAR BIOLOGIS KEPRIBADIAN
Menurut Eysenck, factor keperibadiannya P, E, dan N sama-sama mempunyai determinan biologis yang kuat. Eysenck mengutip tiga alur pembuktian dari komponen biologis yang berpengaruh dalam keperibadian.
1.      Peneliti (McCrae & Allink, dalam Feist & Feist, 2010) telah menemukan factor yang nyaris identik antara manusia di berbagai belahan dunia.
2.      Bukti-bukti (McCrae & Costa, dalam Feist & Feist, 2010) mengindikasikan bahwa manusia cenderung mempertahankan posisinya dalam dimensi keperibadiannya seiring dengan berjalannya waktu.
3.      Penelitian tentang anak kembar (Eysenck dalam Feist & Feist, 2010) menunjukkan kesamaan yang lebih tinggi antara anak kembar identik dibanding anak kembar fraternal.
Dalam teori keperibadian Eysenck, psikotik, ekstraversi, dan neurotisme sama-sama memiliki anteseden maupun konsekuensi. Anteseden bersifat genetis dan biologis, sementara konsekuensi meliputi variable eksperimental.


Referensi
Feist, J & Feist, G.J. 2010. Teori Keperibadian Theories of Personality. Jakarta: Salemba Humanika
Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press

Sama tapi Berbeda



Pukul 12.00 WITA
Ku langkahkan kaki ku menyusuri sudut kota Malang ditemani dengan teriknya matahari tepat di atas kepala ku. Berjalan tanpa arah ditengah keramaian kota dan lalu lalang pengguna kendaraan, suara kelakson terdengar dimana-mana. Tampak wajah kota yang sebenarnya (kemacetan jalan). Kaki ku seperti memberontak tak kuat lagi untuk melangkah dengan keringat bercucuran dan wajah tampak kusam, nafas ku terengah-engah.
Dalam setiap langkah ku, hati ku selalu bertanya “Benarkah ini negeri ku?”. Dari kejauhan ku melihat sosok seorang lelaki tua duduk diam di depan sebuah ruko dengan pakaian compang-camping layaknya seperti para peminta (pengemis) yang lain. Aku berjalan mendekati lelaki tua itu, alangkah terkejutnya aku, saat aku tahu beliau tidak memiliki sepasang kaki dan sepasang tangan. Hati ku tersentak, ingin menangis tapi tak mungkin. Aku hanya tersenyum menatapnya, beliau membalas senyuman ku dengan tulus tanpa mengeluarkan kata-kata meminta sedikit pun. Tak pernah ku jumpai seorang peminta tersenyum ramah seperti beliau.
Tak jauh dari tempat lelaki tua itu duduk, aku melihat sosok seorang laki-laki peminta yang lebih muda dari beliau dengan kedua kaki dan tangan yang utuh dan tubuh yang sehat. Aku berjalan mendekatinya sambil tersenyum seperti apa yang aku lakukan saat bertemu laki-laki tua tadi, namun laki-laki peminta ini berbeda, ia tak membalas senyum ku, tapi iya membalas dengan wajah memelas dan kata-kata orang kelaparan “mbak, minta uang mbak??”. Aku pikir hanya aku yang ia perlakukan seperti itu. Dari kejauhan aku memperhatikannya, ternyata setiap orang yang berjalan melewatinya, ia selalu mengucapkan kata-kata yang sama dan dengan tampang yang sama denga tujuan diberikan uang untuk membeli makan.
Aku teringat dengan kata-kata dosen ku, bahwa pengemis itu urusan dari Pemerintah. “Jika memang itu urusan dari mereka, mengapa para pengemis masih berkeliyaran di negeri ini? Dan mengapa masyarakat masih banyak yang merasakan kemiskinan?” ucap ku dalam hati.

Total Tayangan Halaman